Seruni.id – Ada pemandangan lain yang tampak dari penampilan fisik tujang becak yang biasa beroperasi di sekitaran Taman Budaya Yogyakarta (TBY) ini. Dia adalah Wawan Setiawan. Seorang pengayuh becak yang memiliki keterbatasan fisik. Ya, pria 48 tahun ini hanya memiliki satu kaki. Sebab, kaki kanannya sudah lama diamputasi.
Kendati demikian, di tengah keterbatasan fisiknya, pria ini tetap bersemangat mengayuh becaknya demi menafkahi keluarganya. Becak milik Wawan memang tampak berbeda dengan yang lainnya. Di sisi kanan becak terdapat dua buah kruk. Setiap kali mengantar penumpang, Wawan mengayuh becaknya dengan kaki kirinya saja. Dilihat dari tampilan becaknya, sepertinya tak sama sekali layaknya becak untuk penyandang disabilitas. Namun, dia tidak mengeluh akan keterbatasannya itu.
“Kalau ngayuh becak dengan satu kaki. Ya berat, tapi tidak masalah, karena sudah terbiasa, mas,” ungkap Wawan yang bekerja sebagai tukang becak sejak 1990 ini.
Meskipun hanya menggunakan satu kaki, Wawan mengaku sanggup jika harus mengantar dua orang penumpang sekaligus. Bahkan, ia mampu membawa penumpang saat melintas jalan menanjak di Kota Yogyakarta. Wawan memutuskan menjadi tukang becak, dikarenakan tidak ada pilihan lain.
Sebagai kepala keluarga, ia harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup. Terlebih, saat ini ia harus menghidupi istri beserta anaknya yang baru berusia 2 tahun. Ia juga harus membayar rumah kontrakan yang ditinggalinya bersama keluarga.
Wawan menyewa rumah di daerah Tahunan, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Setiap bulan, ia harus membayar uang sewa sebesar Rp. 600.000, bukan jumlah yang sedikit. Dalam keadaan fisiknya yang terbatas, dia memiliki prinsip yang sangat baik, yakni tidak ingin menyusahkan orang lain.
“Prinsip saya satu, bekerja apapun asal tidak merugikan orang lain,” kata Wawan.
Setiap hari, dari pagi hingga siang hari, ia kerap mangkal di seberang TYB. Namun, saat sore hari, ia berpindah tempat ke sebrang Pasar Beringharjo.
“Saya kadang sampai jam 2 pagi baru pulang. Kadang malam sampai tidur di becak juga, ya sambil nunggu penumpang,” bebernya.
Sebagai tukang becak, penghasilannya pun tak menentu. Terkadang, di hari libur, ia bisa membawa uang untuk keluarganya. Namun, terkadang Ia juga harus rela pulang dengan tangan kosong, karena tidak mendapat penumpang.
“Kadang dapat, kadang tidak. Ya, kalau ramai liburan sehari bisa dapat Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000. Ya bagi saya, berapapun, cukup tidak cukup tetap harus disyukuri,” tandasnya.
Sebelum menjadi tukang becak di Yogya, Wawan menarik becak di Magelang, Jawa Tengah. Di sana, ia tinggal bersama dengan kedua orangtuanya. Namun, keduanya telah meninggal dunia saat ia masih kecil. Sehingga ia harus bekerja keras bahkan sejak duduk di bangku kelas 1 SD. Ia pun mencari nafkah dengan berjualan koran, menjadi tukang semir sepatu di jalan Magelang, Jawa Tengah.
“Saya tidak sekolah, umur 7 tahun hidup di jalan, cari uang agar bisa makan. Pokoknya cari uang, tapi yang tidak merugikan orang lain,” tegasnya.
[su_box title=”Baca Juga” style=”glass”]
Hidup Dalam Keterbatasan Fisik, Wanita ini Tetap Mewaqafkan Diri untuk Al Quran
[/su_box]
Wawan mengatakan, musibah hingga kaki kanannya harus diamputasi terjadi saat di Magelang. Saat itu kakinya mengalami luka bakar karena masuk ke lobang bekas pembuangan sampah. Amputasinya tahun 2014 di Hardjolukito (RSPAU dr S Hardjolukito) dan dibiayai oleh sedekah rombongan.
Itulah kisah inspiratif yang bisa kita pelajari dari seorang pengayuh becak ini. Meskipun dalam keterbatasan, ia tak mengeluh, ia tetap mencari nafkah demi keluarga. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan, keselamatan, serta kekuatan untuk menghadapi ujian hidup yang begitu berat. Aamiin.