Seruni.id – Kali ini Seruni ingin mengajak kalian berkenalan dengan Asnawi, yakni seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta asal Bangka, yang berhasil lulus menjadi seorang sarjana. Selama ini ia membiayai kuliahnya dengan berjualan gorengan. Mengagumkannya lagi, Asnawi berhasil meraih IPK 3,39.
“Saya pernah bernazar dulu, kalau saya lulus, saya akan pakai toga dengan membawa dagangan ke kampus. Saya ingin menunjukkan, penjual gorengan juga bisa menyelesaikan kuliah. Saya membayar kuliah dan membiayai hidup saya juga pakai ini,” kata Awi, begitu biasa ia dipanggil, pada wartawan di Kampus Terpadu UMY, Tamantirto, Bantul.
Awi melanjutkan ceritanya, jika saat wisuda periode II, Sabtu (11/2) lalu, ia mengenakan toga sembari membawa pikulan dagangannya, ke Sportorium UMY. Dagangan itu bukan ia jual seperti hari-hari biasa, tapi untuk ia bagikan pada orang-orang di sekitarnya, baik mahasiswa, orangtua atau wali mahasiswa, petugas satpam, hingga tukang parkir.
Baca Juga: Demi Sekolah, Adul Tempuh Jarak 3 Kilometer dengan Merangkak
Sehari-hari, Asnawi menjajakan gorengan di sekitar kost-annya, tidak jauh dari kampus. Ia mengaku jika usahanya itu tidak mengganggu jadwal kuliah. Tugas-tugas tetap ia kerjakan tepat waktu, di tengah kesibukannya berdagang.
“Tugas tetap saya kerjakan, tapi kalau harus meninggalkan jualan, ya saya tinggalkan,” ujarnya.
Awi mulai berjualan gorengan pada tahun 2006 lalu. Saat itu, ia harus menanggalkan keinginannya melanjutkan sekolah ke SMA. Karena setelah lulus SMP, dia harus ikut kedua orangtuanya merantau, berjualan gorengan. Selama empat tahun itu juga, Awi berjualan gorengan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, jauh dari kampung.
“Sekolah terhenti, saya sempat tidak bisa melanjutkan sekolah,” kenangnya.
Baru pada tahun 2009, Awi bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Meskipun usianya sudah di atas teman sekelasnya. Namun, hal itu tidak membuat Awi patah semangat. Ia justru mengaku bersyukur, dan menjalaninya dengan senang hati hingga lulus.
Menurutnya, pada tahun 2010, saat kenaikan kelas XI SMA, ia dipercaya sekolah untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Yogyakarta. Awi pun mengikuti program pertukaran pelajar tersebut, dan ditempatkan di SMKN 7 Yogyakarta.
“Dari situ saya mulai punya keinginan melanjutkan kuliah di Yogyakarta,” tutur Awi.
Anak kedua dari tiga bersaudara yang juga merupakan anak lelaki satu-satunya dalam keluarga ini tetap berjualan untuk menghidupi diri sendiri. Mereka bertiga punya usaha masing-masing. Kakak perempuannya mempunyai usaha menjahit, sedangkan adik perempuannya memilih untuk berjualan baju dan kaos.
Baca Juga: Yatim Piatu, Muhammad Saputra Ikhlas Mencari Nafkah untuk Keluarga
Kuliah sambil berjualan memang tidak mudah, maka itu Awi mengatur waktu dengan detail. Setiap hari ia harus bangun pukul 04.00 WIB, kemudian salat Subuh. Setelah salat, barulah Awi mulai menyiapkan bahan untuk berjualan.
Ia menuju pasar untuk membeli bahan-bahan, dan meracik bumbunya sendiri. Saat waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB, maka artinya ia harus menyelesaikan pekerjaan, dan menyiapkan dagangannya sebelum berangkat kuliah.
Pulang kuliah, yakni pukul 12.30 WIB, Awi baru mulai membuat adonan, dan langsung menjajakan dagangannya keliling kampung. Asnawi menghabiskan waktu berjualan di sekitar kampus hingga pukul 18.00 WIB. Sedangkan malam hari, ia lanjutkan untuk kuliah malam, jika ada kelas.
“Hari Minggu libur, untuk refreshing dan istirahat,” kata Awi.
Pada awal berdagang, Awi mengaku tidak kuat dan sempat putus asa, karena dagangannya tidak laku. Sebelum gorengan, Awi sempat berjualan pempek dan mi ayam.
Namun, setelah beralih menjual gorengan, keuntungan yang ia dapatkan setiap harinya pun cukup besar. Rata-rata ia mendapatkan keuntungan dari berjualan gorengan sebesar Rp 300 ribu per harinya.
“Setelah itu, pelan-pelan usahanya naik. Saya bisa membiayai hidup dan pendidikan sendiri, tanpa minta uang dari orangtua lagi,” katanya.
Saat ingin melanjutkan sekolah yang lebih tingi, Awi mengaku ada beberapa tetangga yang meremehkan, menghina, bahkan mencacinya.
“Saya pernah dihina. Saya ingat sekali perkataan salah satu tetangga, “Kamu keahliannya hanya buat gorengan saja, enggak mungkin kamu bisa menyelesaikan pendidikan tinggi,” begitu ucapnya,” kenang Awi.
Namun, kenyataannya berbeda. Tuhan merestui langkahnya menimba ilmu lebih tinggi lagi. Saat ini, Awi mengaku masih ingin melanjutkan pendidikan hingga jenjang S2, bahkan kalau bisa di luar negeri.
“Saat ini saya mau pulang kampung dulu, sambil mencari pekerjaan di samping berjualan gorengan lagi dengan orangtua. Saya juga ingin mencari beasiswa S2 ke luar negeri. Saya lebih berminat jadi wirausaha, walaupun dulu waktu kecil ya cita-cita saya jadi presiden,” tutup Awi.
Kalau sudah begini, masih ada orang yang mau mendahului skenario yang Tuhan tulis untuk masing-masing kita? Daripada sibuk merendahkan orang lain, lebih baik belajar dari kesuksesan mereka, dan jadikan semangat untuk kita bisa menggapai cita. Yuk, semangat!