Dialog Singkat yang Membawa Pendeta Menjadi Mualaf

Dialog Singkat yang Membawa Pendeta Menjadi Mualaf
ilustrasi gambar (ibnusirin.com)

Seruni.id – Skenario yang telah Allah SWT susun untuk setiap hambanya, begitu indah dan mungkin tak pernah tergambarkan di pikiran kita. Tak ada satupun manusia yang dapat menyusun rencana seelok itu. Seperti kisah seorang pendeta yang menjadi mualaf lantaran sebuah dialog singkat. Meski dialognya sangat sederhana, tapi entah bagaimana cara Allah SWT memberikan hidayah padanya, sehingga hatinya tergerak untuk memeluk Islam. Simak kisah selengkapnya berikut ini:

 

Berkeliling Sambil Berdakwah

Suatu ketika, Muhammad al-Bagir bin Ali bi Husain Ra berjalan menyusuri kampung untuk menjumpai umat sambil berdakwah.

Namun, di pertengahan jalan, ketika sampai di kawasan lapang, Muhammad al-Baqir melihat banyak orang sedang berkerumun. Dia bertanya kepada salah seorang pejabat di situ.

“Siapakah mereka,” tanya al-Bagir seperti ditulis Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny dalam bukunya ‘198 Kisah Haji Wali-Wali Allah’.

Dia menjawab, “Mereka adalah kaum Nasrani dan para pengikutnya. Mereka berkumpul di sini karena di bukit ini ada seorang pendeta yang pintar. Setiap tahun mereka akan datang ke sini untuk menanyakan berbagai masalah. Kebetulan hari ini mereka berkumpul.”

Lalu Muhammad al-Baqir rah. menghampiri mereka dan berkumpul bersama mereka. Beliau sengaja menutup kepalanya agar tidak dikenali.

Pendeta itu sangat tua dan dia mengaku pernah berjumpa dengan beberapa pengikut Nabi Isa As yang disebut ‘Hawariyyun’.

Dialog yang Didengar Pendeta

Pandangan matanya sangat tajam. Dia melihat satu persatu wajah pengikutnya. Ketika pandangannya jatuh pada wajah Al-Baqir rah, dia bertanya kepada beliau.

“Apakah engkau pengikut Nasrani atau pengikut Muhammad?”

Muhammad al-Baqir menjawab, “Aku pengikut Muhammad.”

“Apakah engkau seorang ulama dari kalangan umat Muhammad atau pengikutnya yang jahil?” tanya pendeta itu lagi.

“Aku bukan pengikutnya yang jahil.”

Mendengar jawaban Muhammad al-Baqir, pendeta itu gemetar.

Lalu dia bertanya, “Apakah aku yang bertanya kepadamu atau engkau yang bertanya kepadaku?”.

“Silakan engkau saja yang bertanya,” jawab Al-Baqir.

“Baik, sungguh jarang ada umat Muhammad yang memintaku bertanya sesuatu.”

Lalu pendeta itu mulai bertanya, “Apakah yang bukan dinamakan malam ataupun siang?

“Waktu Subuh hingga sebelum terbit matahari,” jawab Al-Baqir tegas.

“Kapan itu akan terjadi?”

“Ketika berada di dalam surga. Ketika itu (waktu Subuh hingga sebelum terbit matahari) orang yang sakit akan merasa sehat walafiat. Kesakitan akan hilang. Siapa pun yang tidak tidur dan beramal ketika itu (dari Subuh hingga sebelum terbit matahari), dia akan mendapat kesenangan pada hari akhirat kelak. Sedangkan orang yang tidak beramal ketika itu, akan mendapat balasan pada hari akhirat kelak.”

“Jawabanmu tepat,” pendeta itu membenarkan jawaban Al-Baqir.

Kemudian dia bertanya, “Penghuni surga akan makan dan minum, tetapi tidak buang air kecil dan besar, Apakah permisalannya untuk memahami hal ini?”

Dengan ringan Al-Baqir rah. menjawab, “Perumpamaannya ada-lah seperti bayi yang berada di dalam kandungan ibunya. Dia makan dan minum sebagaimana ibunya makan dan minum, tetapi dia tidak membuang air kecil dan besar.”

Pendeta itu bertanya lagi, “Buah-buahan di surga tidak akan rusak walaupun dimakan beberapa kali. Bagaimanakah permisalannya untuk memahami hal ini?”

“Perumpamaannya adalah seperti seratus ribu lampu dinyalakan. Walaupun ada satu dua yang rusak, cahayanya tidak akan berkurang” jawab Al-Bagir.

Baca Juga: Julia Prastini, Selebgram Mualaf yang Dulunya Membenci Suara Azan

Pendeta itu sangat kagum dengan kecerdasan Al-Baqir rah. Pada saat itu juga dia menyatakan keislamannya.