Seruni.id – Berikut adalah cerita sejarah tentang perjuangan dari ibu para ulama besar muslim dalam mendukung anak-anaknya mendalami Alquran hingga belajar ilmu Geografi. Disimak ya, Moms.
Menjadi ibu merupakan karunia dari Allah yang sangat besar pertanggungjawabannya. Menjadi ibu bukan merupakan hal yang mudah namun sebuah bentuk anugerah yang patut disyukuri. Melihat dan bisa memiliki waktu untuk memperhatikan tumbuh kembang sang anak adalah berkah yang luar biasa.
Begitu pun rasa yang dialami oleh ibu para ulama besar Muslim ini. Tanpa teknologi canggih dan berbekal tekad yang kuat sang anak bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia, mereka rela mengajarkan ilmu pengetahuan dengan cara mereka sendiri.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut cara para ibu dari para ulama tersebut mengajarkan dan mendidik anak-anaknya:
- Ibu Imam asy-Syafi’i
Imam Syafi’i hanya memiliki sang ibu. Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunya lah yang kemudian membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian pemilik nama Muhammad bin Idris asy-Syafi’i tersebut menjadi seorang imam besar.
“Aku adalah seorang anak yatim. Ibuku lah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku… …aku menghafal Alquran saat berusia 7 tahun. Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan Alquranku, aku masuk ke masjid, duduk di majelisnya para ulama. Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.
Begitulah ungkapan hati Imam Syafi’i terkait perjuangannya dalam menuntut ilmu. Pada masa itu, keterbatasan biaya memang menghambat banyak hal termasuk keinginan beliau untuk belajar.
Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah. Di Mekah, ia mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Tidak hanya berhenti sampai di situ, sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni. Sehingga bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.
Tidak hanya membekali sang anak dengan soft skill saja, ibu Imam Syafi’i pun mengajarkan anaknya keahlian fisik seperti memanah dan berkuda. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.
Saat beliau masih sangat muda, yaitu saat berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa. Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama.
2. Ibu Imam al-Bukhari
Ibunyalah yang mengasuh sang imam, mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik, mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar serta berbuat baik.
Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah. Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut. Adapun tujuannya sang ibu meninggalkan Imam al-Bukhari di tanah haram tersebut agar dapat menimba ilmu dari para ulama Mekah.
3. Ibu Sufyan ats-Tsaury
Sufyan ats-Tsaury adalah tokoh besar tabi’ at-tabi’in. Ia seorang fakih yang disebut dengan amirul mukminin fil hadits (pemimpin umat Islam dalam hadits Nabi).
Pada masa mudanya, Sufyan ats-Tsaury sempat merasakan kebimbangan untuk menuntut ilmu. Hal itu dikarenakan menuntut ilmu membutuhkan modal dan bekal.
Beliau gamang dengan pilihan, jika mencari modal dan bekal maka dirinya tidak bisa fokus belajar, maka ilmu itu akan mudah pergi dan menghilang.
Saat ragu melanda, Ibunya menyemangati, menasihati, dan mewasiatinya agar semangat menggapai pengetahuan.
“Wahai Sufyan anakku, belajarlah..aku yang akan menanggungmu dengan usaha memintalku”, begitulah ucapan sang ibu saat Sufyan merasa ragu untuk menuntut ilmu sebab keterbatasan biaya.
“Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu? Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat untukmu”.
Karena suntikan semangat dan dukungan dari sang ibu, Sufyan ats-Tsaury pun berhasil membuktikan bahwa dia bisa menjadi ahli dalam ilmu pengetahuan meski dalam keterbatasan materi.
4. Ibu Sultan Muhammad al-Fatih
Pada suatu pagi setelah shalat subuh, Ibu Sultan Muhammad al-Fatih bercerita dan mengajarinya tentang Geografi terkait garis batas wilayah Konstantinopel.
Saat sang ibu mengajarinya ilmu Geografi tersebut, terjadilah suatu percakapan. Percakapan tersebut yang ternyata menjadi peristiwa besar sepanjang sejarah dunia di kemudian hari.
Sang ibu berkata, “Engkau –wahai Muhammad- akan membebaskan wilayah ini. Namamu adalah Muhammad “.
Muhammad kecil pun bertanya, “Bagaimana aku bisa membebaskan wilayah sebesar itu wahai ibu?”
“Dengan Alquran, kekuatan, persenjataan, dan mencintai manusia”, jawab sang ibu mantap.
Sang ibu selalu memotivasi Muhammad Al- Fatih dengan sesuatu yang besar dengan dasar agama dan kasih sayang, bukan semangat penjajahan.
Kemudian, seperti kata-kata mantap ibunya, ketika dewasa, Sultan Muhammad Al- Fatih berhasil merebut Konstantinopel mengubah nama kota tersebut menjadi Islambul yang berarti Kota Islam (kini kerap disebut Istanbul).
5. Ibu Imam Malik bin Anas
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Uwais, “Aku mendengar pamanku, Malik bin Anas, bercerita, ‘Dulu, sewaktu aku kecil, ibuku biasa memakaikanku pakaian dan mengenakan imamah untukku. Kemudian ia mengantarkanku kepada Rabi’ah bin Abi Abdirrahman. Ibuku mengatakan, ‘Anakku, datanglah ke majelisnya Rabi’ah.Pelajari akhlak dan adabnya sebelum engkau mempelajari hadits dan fikih darinya’.”
6. al-Khansa, Tumadhar binti Amr bin al-Harits Ibu Para Mujahid
Ketika umat Islam bersiap dan menghitung jumlahpasukan menghadapi Perang Qadisiyah, saat itu pula al-Khansa bersama empat orang putranya siap berangkat bersama pasukan berjumpa dengan pasukan Persia.
Dalam sebuah kemah di tengah ribuan kemah lainnya, al-Khansa mengumpulkan keempat putranya. Ia berwasiat, “Anak-anakku, kalian memeluk Islam dengan penuh ketaatan dan hijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia, sungguh kalian terlahir dari ibu yang sama. Aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian. Tak pernah mempermalukan paman kalian. Tak pernah mempermalukan nenek moyang kalian. Dan tak pernah pula menyamarkan nasab kalian. Kalian semua tahu balasan besar yang telah Allah siapkan bagi seorang muslim dalam memerangi orang-orang yang kafir. Ketahuilah (anak-anakku), negeri yang kekal itu lebih baik dari tempat yang fana ini.
Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, maka perangilah musuh kalian dengan gagah berani, mintalah kemenangan kepada Allah atas musuh-musuh-Nya”.
Ketika sinar pagi telah terbit, kedua pasukan pun bertemu.Gugurlah orang-orang yang ditakdirkan gugur. Dan mereka yang ditakdirkan hidup, akan tetap hidup walaupun berangkat mencari kematian.
Usai peperangan, al-Khansa mencari kabar tentang putra-putranya. Kabar syahid anak-anaknya sampai kepadanya.Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kematian mereka. Aku berharap Rabku mengumpulkanku bersama mereka dalam kasih sayang-Nya.”
7. Ibu Imam Ahmad bin Hanbal
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun. Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun.
Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya. Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini. Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin, ia adalah imam madzhab yang empat.
8. Ibu Ibnu Taimiyah
“Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama. Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin. Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”.
Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir.
Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah.Wanita shalihah yang berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian.
Ibunda Ibnu Taimiyah memberikan kesan bahwa ia adalah wanita yang teguh jiwa dan hatinya.
9. Ibu Abdurrahman bin an-Nashir
Amirul mukminin Abdurrahman bin an-Nashir adalah penguasa Andalusia yang kala itu tengah dilanda kegoncangan. Kemudian ia berhasil membuat wilayah itu stabil. Ia berhasil memimpin pasukannya masuk ke jantung wilayah Perancis dan sebagian wilayah Swiss. Kemudian menguasai Italia. Ia pun menjadi raja terbesar di Eropa.
Di belakangnya ada seorang wanita yang berhasil mendidik dan membinanya. Abdurrahman an-Nashir adalah seorang yatim yang dibesarkan ibunya. Sang ayah tewas dibunuh pamannya saat Abdurrahman masih kecil.
10. Ibu Abdurrahman As-Sudais
Seorang bocah mungil sedang asyik bermain-main tanah. Sementara sang ibu sedang menyiapkan jamuan makan yang diadakan sang ayah. Belum lagi datang para tamu menyantap makanan, tiba-tiba kedua tangan bocah yang mungil itu menggenggam debu. Ia masuk ke dalam rumah dan menaburkan debu itu diatas makanan yang tersaji.
Tatkala sang ibu masuk dan melihatnya, sontak beliau marah dan berkata: “idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain,” yang artinya “Pergi kamu…! Biar kamu jadi imam di Haramain…!”
Dan SubhanAllah, kini anak itu telah dewasa dan telah menjadi imam di masjidil Haram…!! Tahukah kalian, siapa anak kecil yang di doakan ibunya saat marah itu…?? Beliau adalah Syeikh Abdurrahman as-Sudais, Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum muslimin di seluruh dunia.
-Arumadewi-
Artikel ini dikutip dari berbagai sumber.