Seruni.id – Kali ini Seruni akan membagikan kisah tentang Stijn Ismail Ledegen, seorang mahasiswa hukum di salah satu universitas di Belgia, yang memutuskan untuk menjadi seorang mualaf setelah melewati perjalanan panjang. Bagaimana perjuangannya menjadi seorang Muslim hingga bisa diterima oleh keluarga dan sekitar?
Stijn Ismail Ledegen memilih peminatan (keputusan yang dilakukan peserta didik untuk memilih kelompok mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan kemampuan selama mengikuti pembelajaran)-nya pada Hukum serta Politik Internasional dan Eropa.
Itulah yang membuatnya selama beberapa minggu melakukan riset terhadap pengaruh agama pada parlemen Eropa. Ia juga gemar melakukan traveling, dan mempelari kebudayaan serta bahasa. Stijn memutuskan untuk masuk Islam pada tahun 2014 lalu, saat Islamophobia justru begitu terasa di Eropa. Berikut kisahnya:
“Adalah surat pertama dalam Alquran, yakni Al-Fatihah, yang selalu dibaca setiap kali salat. Menurut saya (Al-Fatihah) sangat indah, seolah-olah seperti Allah berbicara langsung pada saya. Kalimat pertamanya: Bismillahirrahmaanirrahiim. Alquran dimulai dengan “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”,” ungkapnya mengawali pembicaraan.
“Kamu tidak bisa berubah secara drastis dari satu hari ke hari lainnya seperti robot. Perubahan membutuhkan waktu. Saya pun memulai salat seperti yang dilakukan anak-anak. Saya berkata pada diri saya, “Minggu ini saya salat satu kali dalam sehari, minggu depan dua kali dalam sehari, minggu setelahnya tiga kali, dan seterusnya sampai pada akhirnya saya dapat salat lima kali dalam sehari. Dan sekarang salat lima kali dalam sehari (salat lima waktu) sudah menjadi kebiasaan rutin,”
Baca Juga: Alquran Memberiku Hidayah, “Saya Sangat Bangga dengan Hijab Saya”
“Saya sudah tidak meminum alkohol lagi. Belum lama ini saya diskusi dengan saudara perempuan saya, karena dia sangat gemar minum wine (anggur). Sudah sangat lama sejak terakhir kali saya minum wine, sehingga saya sudah lupa bagaimana rasanya,”
“Saudara perempuan saya pun bertanya pada saya, “Kamu gak kangen minum alkohol? Aku gak bisa hidup tanpa minum alkohol” ujarnya. Namun, sebagai seorang Muslim, kamu bisa mengubah kebiasaan ini dengan mudah,”
Baca Juga: “Kenapa Ayah Izinkan Saya Masuk Islam?”
“Orang-orang sering bertanya pada Muslim, mengapa menggunakan jilbab, mengapa tidak makan daging Babi. Dan orang-orang tersebut melihatnya sebagai masalah, jilbab merupakan contoh yang paling nyata. Ibu saya pernah berkomentar, “Ini (suhunya) sedang panas, 33 derajat, dan para wanita Muslimah memakai jilbab. Begitu kan tidak sehat (bisa overheat pun dehidrasi)?” begitu katanya,”
“Mereka melihatnya tidak dari sudut pandang Islam, maka mereka memandangnya sebagai beban. Namun, seorang Muslim memiliki perspektif yang berbeda. Bukan dengan perspektif yang lebih baik atau lebih buruk, hanya berbeda. Bagi kami ini adalah berkah,”
Baca Juga: Amira Ann Lee: Kenapa Saya Memilih Islam?
“Suatu ketika saya berada di dalam mobil bersama Ayah saya, jam dua malam. Perlu saya garis bawahi, keadaan saat itu sangat tenang, sehingga suara serangga pun bisa terdengar. Dan saya berkata, “Ayah, saya ingin mengatakan sesuatu,” Saya masih ingat tatapan Ayah saya seperti apa sembari dia berkata, “Kamu bukan gay, ‘kan?” Dan saya pun menjawab, “Bukan Ayah, bukan. Tenang. Sebenarnya ini sesuatu yang berbeda,” jelas saya pada Ayah,”
“Pada saat itu Ayah sudah sering menemukan Alquran, sajadah, dan tasbih di dalam kamar saya. Dia pun mulai menghubungkannya dengan hal itu. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya, “Jadi hal penting apa yang ingin kamu katakan? Kamu tidak menjadi seorang Muslim, ‘kan?” tanya Ayah saya. Dan untuk sesaat, apa yang ingin saya ucapkan pun seperti tertahan di tenggorokan,”
Baca Juga: “Saya Menjadi Lebih Tenang Setelah Masuk Islam”
“Tapi kepercayaan (iman) saya sangat kuat, dan saya berpikir, apa pun yang terjadi, saya percaya pada Allah dan juga keluarga saya, dan saya tahu semua akan berjalan dengan baik. Ada kalanya suatu hal hanya membutuhkan waktu untuk bisa terselesaikan dengan sendirinya. Maka saya pun berkata, “Ayah, saya sudah pindah (agama). Saya ingin mengatakannya sejak lama, tapi saya menunggunya selama satu tahun, sehingga Ayah bisa melihat kalau saya masih belajar. Saya masih Stijn yang sama (tidak berubah), saya masih suka main sepakbola,” ujar saya mencoba menjelaskan pada Ayah,”
“10 detik pertama, Ayah tidak mengatakan sepatah kata pun, ia seperti tidak mendengar apa yang saya sampaikan. Saya sempat ingin mengulanginya sekali lagi untuk memastikan. Namun, Ayah tiba-tiba menangis dan berteriak. Tentu itu menjadi sebuah pukulan yang berat bagi saya, karena Ayah adalah pria yang tegar, dan selalu mendukung keluarganya,”
Baca Juga: Joram van Klaveren, Politisi dari Partai Anti-Islam, Memutuskan Masuk Islam
“Saya tidak pernah melihatnya menangis dan sangat berat untuk saya ketika saya menjadi penyebab Ayah menangis. Awalnya saya juga merasa berat, tapi pada akhirnya semua terselesaikan dengan baik. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki prinsip yang menarik, saya akan merasa nyaman untuk bicara padanya. Namun, jika prinsip yang kami miliki saling bertolak-belakang, tentu kami tidak akan bisa ada di titik temu,”
“Tidak ada paksaan dalam Islam. Saya tidak bisa memaksa seseorang untuk menggunakan jilbab. Saya tidak bisa memaksanya untuk salat. Itu semua pilihan masing-masing, dan merupakan hubungan pribadi dengan Tuhan. Tentu, saya menginginkan istri saya nanti adalah seorang Muslimah. Namun, sebagai seorang Muslim, kami percaya jika segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya. Takdir bukan berada di tangan manusia,”
Baca Juga: Arnoud van Doorn, Penghujat Islam yang Memutuskan Menjadi Mualaf
“Saya ingin menggambarkan cara saya berbaur dengan komunitas Muslim selama lima tahun terakhir ini. Terdengar seperti pengalaman kerja, ya? Tapi lima tahun itu dapat saya sebut sebagai “Maroko-nisasi”. Dan saya tidak meninggalkan latar belakang saya. Saya tetap bangga sebagai warga negara Belgia dan Flanders (Belgia bagian utara). Namun, saat bulan Ramadhan tentu saya pergi ke Masjid. Dan alih-alih memakan makanan yang biasa saya makan di Belgia, saya akan makan Tajine atau Kuskus (hidangan khas Maroko),”
“Alih-alih minum bir saat menyaksikan pertandingan sepakbola, sekarang saya memilih untuk minum teh mint saja. Hal-hal kecil seperti ini membuat proses berbaur dengan komunitas Muslim pun menjadi lebih mudah. Dulu saya memberikan salam pada lawan jenis dengan cium pipi kiri-kanan, sekarang cukup dengan berjabat tangan saja. Dulu saat bergaul bersama teman-teman Belgia sering melakukan hal-hal yang kurang pantas, sekarang ketika bergaul dengan teman-teman Maroko tentu hal tersebut tidak lagi dilakukan,”
“Dengan teman-teman Belgia, kadang saya mendiskusikan hal-hal yang kurang pantas tanpa rasa malu. Namun, itu merupakan hal yang tidak dianjurkan dalam Islam, pun tradisi di negara lain. Contoh, tidak pantas mengatakan hal-hal mengenai wanita cantik yang ditemui di jalan pada orangtua dalam kultur Maroko. Karena itu merupakan hal yang tabu dan tidak sopan,”
“Sementara dalam kultur Belgia? Orangtua biasanya justru tertawa dan berkata, “Kamu dapat nomor telepon (wanita)-nya gak?” Namun, di sisi lain, ada dalam dua sudut pandang berbeda, justru memberikan perspektif yang lebih luas, dan membuat kamu menjadi lebih bersyukur,”
“Banyak anak mudah yang juga ingin pindah agama (ke Islam). Saya bicara pada beberapa anak muda, laki-laki pun perempuan, dan mereka berkata, “Andai sikap keluarga saya mendukung, saya pasti sudah berpindah agama. Saya akan menunggu sampai bisa mandiri, baru akan mengatakan pada orangtua saya jika saya sudah pindah agama,” ujar mereka. Dan hal yang sama juga terjadi dalam kasus memakai jilbab,”
“Sebelum saya menjadi seorang mualaf, saya sudah bahagia. Saya juga hidup bahagia dengan teman-teman saya. Namun, perbedaan mendasar antara menjadi seorang yang beragama dengan tidak beragama adalah perspektif dalam menilai suatu hal. Saat ini saya juga bahagia, bahkan lebih bahagia dari saya yang dulu. Tentu dilihat dari perspektif yang lain (Islam),”
“Masalah yang sering muncul saat ini adalah orang-orang melihat segala sesuatu hanya sebagai hitam putih, pada ada area abu-abu yang besar. Apa yang menjadi beban bagi seseorang, bukan tidak mungkin justru menjadi berkah bagi orang lain. Begitupun sebaliknya. Semua masalah sudut pandang,” tutup Stijn.
View this post on Instagram
Dan 2 Februari kemarin, Stijn membagikan kabar baik melalui akun Instagram pribadinya, yakni film pendek berjudul “AUGUSTIJN the Convert”.
View this post on Instagram
“Alhamdulillah, minggu ini saya mendapat kehormatan besar, karya perdana saya berupa film pendek, akan diikutsertakan dalam Festival Film Internasional Rotterdam 2019. Saya membuatnya beberapa bulan, dan bekerja sama dengan Omar Chowdhury. Sebuah film pendek/autobiografi yang kami beri judul “AUGUSTIJN”. Kami mencoba untuk menggambarkan konflik individu bagi mereka yang tinggal di kota industri pos sekuler, dan bagaimana cara menghadapi situasi tersebut saat Anda mencoba menemukan keseimbangan antara 2 dunia. Situasi di mana segala sesuatu tampak sama, tapi kenyataannya tetap berbeda. Tiket untuk dua show bahkan sudah terjual habis!! Pengalaman yang luar biasa,” tulis Stijn Ismail Ledegen yang disambut berbagai komentar positif.
@yuan_va**: Masya Allah.. Keep istiqomah
@biebi**: Assalamualaikum Bro, We are Family
@novitagr**: you inspiring me @stijnledegen
Terima kasih untuk inspirasi yang kau bagikan, Stijn. Semoga bisa terus istiqomah, ya.