Latifa Abouchakra: Kami (Muslimah) Tidak Ditindas oleh Agama Kami

Gambar Via: youtube.com

Seruni.id – Latifa Abouchakra adalah seorang Muslimah dan guru muda yang juga merupakan pengungsi dari Palestina. Ia begitu tenang dan lugas, menyampaikan pidatonya mengenai kebijakan yang dibuat oleh OFSTED [Office for Standards in Education, Children’s Services and Skills] yang ingin membuat aturan pelarangan memakai hijab bagi siswa Muslimah di Inggris. OFSTED merupakan badan pemerintahan yang bergerak di bidang pendidikan anak dan remaja, serta pelatihan kemampuan di Inggris.

Related image
Gambar Via: timesofindia.indiatimes.com

Syukurnya, apa yang dilakukan Latifa mendapat dukungan dari para pendengar pidatonya. Ia semakin yakin berdiri untuk melawan Islamofobia, dan berjuang dalam menegakkan keadilan, terutama untuk mendapatkan hak-nya sebagai Muslimah. Bagaimana Latifa Abouchakra menyampaikan ini semuanya? Berikut isi pidatonya yang dibagikan oleh The Vibe Muslim.

“Ketika ada beberapa politisi dan media yang menggunakan istilah “muscular liberaslism” (ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman, bahwa kebebasan dan persamaan hak merupakan nilai politik yang utama), istilah itu sebenarnya adalah nama lain dari rasisme dan Islamofobia,” ujar Latifa Abouchakra memulai pidatonya.

Baca Juga: Alquran Memberiku Hidayah, “Saya Sangat Bangga dengan Hijab Saya”

“Tindakan (Islamofobia) ini diimplementasikan di sekolah-sekolah, dalam rangka untuk mencari tahu, mengapa siswa perempuan memakai hijab. Mereka menginterpretasikan (hijab) sebagai upaya seksualisasi (menjadikan perempuan sebagai objek seksual),”

“Sungguh memalukan, OFSTED yang telah mendiskriminasi anak-anak perempuan yang telah memilih menggunakan pakaian religius. OFSTED tidak membuat ketentuan khusus untuk agama (selain Islam) dan atribut untuk (selain umat Islam),”

Baca Juga: “Kenapa Ayah Izinkan Saya Masuk Islam?”

“Sikap terhadap umat Islam ini memiliki dampak lainnya. Hal ini memberikan sinyal bagi publik Inggris dan kelompok (anti Islam) seperti EDL, BMP, dan kelompok fasis serta rasis lainnya. Bahwasanya perempuan ditindas dalam ajaran Islam, dan haknya diabaikan laku-laki, karena mereka dipaksa untuk memakai pakaian tersebut,”

“Dan sudah menjadi tugas pemerintah Inggris untuk membebaskan wanita (Muslimah dari penindasan). Kami (Muslimah) menolak bentuk pemikiran imperialis yang berlagak heroik ini. Saya berdiri di sini, mengatakan pada semua orang yang menjalankan keyakinannya secara terbuka, bahwa kami (Muslimah) tidak ditindas oleh keyakinan (agama) kami,”

Baca Juga: Amira Ann Lee: Kenapa Saya Memilih Islam?

“(Penganut) Islam tidaklah seragam semuanya. Alquran mengatakan dengan indah bahwasanya, “Tidak ada paksaan dalam agama,” Keyakinan saya ini memberikan hak pada saya, jauh 1,400 tahun sebelum deklarasi Pernyataan Umum tentang HAM (di PBB),”

“Untuk semua peserta konferensi, ada fakta unik yang ingin saya bagikan, yakni bahwasanya Ayah saya tidak mau saya berhijab, tapi saya yang memutuskan berhijab, sebab itulah keyakinan saya. Keyakinan-keyakinan mempunyai hak (bagi pemeluknya) untuk memakai atributnya masing-masing,”

Baca Juga: “Saya Menjadi Lebih Tenang Setelah Masuk Islam”

“Umat Sikh memakai Turban. Umat Yahudi memakai Kippa, atau umat Kristen memakai Salib. Menjalankan kebebasan ekspresi melalui hijab ini mendorong saya dan Muslimah lain seperti saya, agar kalian mengetahui bahwasanya kami bisa membuat keputusan untuk diri kami sendiri,”

“Melalui hijab, wanita seperti saya dimotivasi untuk melawan pemikiran masyarakat mengenai seksualisasi yang saat ini banyak terjadi, dan menghasilkan banyak kekhawatiran. Saya berbicara mewakili diri saya sendiri, dan orang lain yang bernasib sama. Bahwasanya di sekolah, kami bisa lebih fokus pada pemikiran, bukan bagaimana cantiknya penampilan kami,”

Baca Juga: Joram van Klaveren, Politisi dari Partai Anti-Islam, Memutuskan Masuk Islam

“Persatuan Guru Nasional pun telah mendukung hak-hak perempuan terkait kehamilan. Maka, saya ingin konferensi ini juga mendukung hak saya untuk memakai hijab. Bagaimana saya menjalankan agama (berhijab) bisa terlihat dengan mudah, dan ini menjadikan saya sebagai target kejahatan kebencian,”

“Jumlah serangan rasis terhadap Muslimah tidak sebanding dengan kelompok lain dalam masyarakat Inggris. Itu terjadi karena kami adalah target yang rentan. Keputusan yang dibuat oleh OFSTED juga memberikan dampak di luar gerbang sekolah, dan harus diperhatikan juga mengenai tingginya serangan terhadap komunitas Muslim,”

Baca Juga: Arnoud van Doorn, Penghujat Islam yang Memutuskan Menjadi Mualaf

“Dan juga jangan terus berkutat pada pemikiran kuno, bahwasanya Muslimah adalah korban. Tahun lalu, saya pernah melakukan kunjungan ke Hampton Court bersama siswa-siswa saya, hingga kemudian seorang lelaki tanpa beban menyebut saya sebagai seorang teroris,”

“Sebagai Muslimah, saya bukanlah korban. Maka, saya tantang dia, tetapi lelaki itu menolak. Saya yakin kalian semua sudah mendengar tentang “Hari Menghukum Muslim”? Hal itu sudah disebutkan beberapa kali tadi pagi. Dan sebagai Muslimah, saya sangat optimis,”

Baca Juga: “Ayah, Saya Sudah Pindah Agama (Menjadi Seorang Muslim)”

“Mereka berusaha untuk membatasi hari (dengan hukuman tersebut) dalam satu hari saja. Masih ada 364 hari lainnya. Izinkan saya menegaskan kembali, jika Islamofobia dan bentuk rasisme lainnya juga berdampak pada non-Muslim. Jika kita tidak melawannya bersama-sama, maka bisa jadi masyarakat kita berubah sebagaimana yang terjadi di Prancis,”

“Di sana, wanita dipaksa oleh hukum untuk memilih antara keyakinan atau pendidikan mereka. Memilih antara keyakinan atau hak untuk bekerja di sektor publik. Memilih antara keyakinan mereka, atau hak untuk menikmati liburan di pinggir pantai bersama keluarga. Saya ingin mengakhiri ini dengan mengatakan bahwasanya saya datang ke negara ini (Inggris) sebagai pengungsi berusia delapan tahun,”

Baca Juga: “Saya sedang Sujud, Tiba-tiba Ayah Berteriak: Berhenti Mencium Lantai!”

“Kami adalah rakyat Palestina yang dipaksa untuk meninggalkan Tanah Air kami pada tahun 1948 silam. Kami tinggal di kamp pengungsian yang kumuh, seperti yang ada di Calais (Prancis) selama 60 tahun. Di sini saya mendapatkan dukungan yang saya butuhkan, untuk kuliah di jurusan Hukum, dan saya telah mendapatkan kewarganegaraan sekunder,”

“Saya juga telah menjadi pengajar PSHE (Pendidikan Pesonal, Sosial, dan Kesehatan) dan mewakili sekolah. Melukai satu orang, sama saja dengan melukai semua, secara keseluruhan. Saya ingin berterima kasih pada perkumpulan ini, atas pembelaannya terhadap mereka yang tertindas. Khususnya negeri saya, Palestina,” tutup Latifa Abouchakra yang langsung disambut tepuk tangan hangat dari para peserta lainnya.

Terima kasih Latifa Abouchakra, untuk perjuanganmu, untuk semua usahamu. Kamu tak pernah sendiri. Akan selalu ada kita untuk satu sama lain. Kita, saudaramu sesama Muslim. Dan mereka, saudaramu di satu bahkan negara-negara lainnya. Semangat juga untuk Sabtu, 16 Februari mendatang, untuk pembicaraan yang akan kau lakukan bersama para aktivis luar biasa, di Newcastle.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Latifa Abouchakra (@msslatifa) on